Bermodal Berani dan Ulet, Buka Warung di Negeri Orang

Asap tampak mengepul di atas tempat memanggang. Dari jauh tercium wangi khas sate yang sudah matang dibakar. Ketika didekati terdengar suara mendesis dari minyak yang menetes ke besi pemanggang. Beberapa tusuk sate ayam terletak di piring dari daun palem bersama acar. Semerbak saus kacang tambah menguatkan rasa lapar dan rasa rindu akan tanah air.

“Selamat siang, Bu,” kata Jeannette Carbonaro dengan ramah, dari balik konter di kiosk street food miliknya. Di pojok konter berdiri sebuah wayang golek dan sebuah pot anggrek berwarna merah jambu. “Saya juga buat sambal sendiri,” katanya sambil menunjuk ke sebuah botol di atas konter dan menambahkan, “silahkan coba!”

Di sebelah botol berisi sambal terletak setumpuk kartu namanya. Di atasnya tertera Mama Kocht für Dich, yang artinya: ibu memasak untuk kamu. Nama judi roulette online itu juga bisa ditemukan di jejaring sosial Facebook, Instagram dan TikTok. Tentu saja, ia juga punya situs bisnis dengan nama sama.

Jeannette Carbonaro lahir di Makasar. Nama kelahirannya Jeannette Goudsmit. Ayahnya berdarah Belanda dan Afrika, sementara ibunya berasal dari Gorontalo.

Bermodal Berani dan Ulet

1965 ia bersama ayah-ibu dan saudara-saudaranya pindah ke Belanda. Sejak 1950 semua kakak ayahnya sudah bermukim di Belanda. Tapi ibu dari Jeannette tidak mau pindah ke Belanda, karena hanya dia sendiri yang orang Indonesia sepenuhnya. Istri dari saudara-saudara ayahnya semua separuh berdarah Indonesia dan separuh lagi Belanda.

Tapi karena ayah Jeannette kemudian sakit, saudara-saudaranya di Belanda memanggil dia kembali ke Belanda beserta seluruh keluarganya, agar mereka bisa ikut membiayai dan mengurus Jeannette bersaudara. Hanya kakak Jeannette yang paling tua yang tidak ikut pindah, karena dia sudah menikah dengan seorang pria asal Bandung, dan sampai sekarang masih menetap di sana. “Dia sendiri di Indonesia,” katanya ketika menceritakan tentang kakaknya, “dan saya sendiri di Jerman, yang lainnya semua di Belanda,” katanya sambil tersenyum.

Jeannette bercerita, ketika datang ke Belanda, bahasa negara kincir angin itu sudah tidak asing lagi bagi dia, karena sejak kecil dia sudah diajarkan bahasa Belanda oleh ayahnya. Menurut dia, mulai tahun 1950 bahasa Belanda sudah tidak diajarkan lagi di sekolah-sekolah Indonesia. Oleh karena itu, dia hanya belajar dari ayahnya, sementara tiga kakaknya masih sempat sekolah Belanda.

Setelah tamat menimba ilmu di Belanda, dia bekerja sebagai akuntan. Pada suatu hari, ketika sedang berlibur tiga hari bersama adik dan temannya di kota Amsterdam, dia bertemu dengan pria yang kemudian jadi suaminya, Roberto Carbonaro. Suaminya berasal dari Italia dan tinggal di Jerman.

Awalnya dia meminta suaminya untuk pindah ke Belanda. Namun ketika itu, tahun 1985, suaminya tidak bisa berbicara bahasa Belanda. Sedangkan Jeannette dulu belajar beberapa bahasa asing ketika masih bersekolah, antara lain bahasa Jerman, sehingga dia bisa berbicara dalam beberapa bahasa. Karena dia merasa lebih mudah mendapat pekerjaan daripada suaminya, akhirnya dia memutuskan pindah ke Jerman.

Dalam beberapa tahun pertama bermukim di Jerman, dia tidak bekerja. Saat itu putranya lahir. “Abis itu, udah saya cari-cari kerja. Karena bosen di rumah, karena dulu-dulu kan kerja terus, tiba-tiba di rumah aja,” katanya sambil tertawa. Ia kemudian mulai bekerja di sebuah Möbelhaus, atau perusahaan penjual mebel, di bagian akuntansi juga. “Buat saya kan gampang, karena saya bisa bahasa Jerman, dan di Belanda dulu kerja Buchhaltung [akuntansi] juga.”

Sayangnya, setelah bekerja hampir 10 tahun di toko itu, Jeannette terpaksa berhenti. “Mereka pindah ke Frechen dan saya ga mau ikut,” katanya. Kota Frechen terletak sekitar 35 kilometer di sebelah barat laut kota Bonn.

Sekarang Jeannette sudah masuk usia pensiun. Namun ia berpendapat ini bukan waktunya beristirahat, dan ia tetap ingin maju. Kebetulan, tahun 2015 anaknya pergi ke acara street food atau makanan jalanan, yang diadakan di kota Köln. Setelah kembali, anaknya bercerita, bahwa di sana tidak ada masakan Indonesia yang dijajakan. Anaknya lalu bertanya, “Mami, kamu ga mau coba?”

Awalnya Jeannette kurang yakin, sehingga ia terlebih dahulu meminta pendapat kakaknya yang punya restoran di Belanda. Kakaknya memberikan dorongan, sehingga dia kemudian mencoba. Namun dia tidak mau membuka restoran. Dia hanya menggunakan semacam kiosk kecil dengan konter yang bisa didirikan di mana saja. Ternyata ia sukses. “Saya jadi diundang ke sini, diundang ke sana,” tutur Jeannette sambil tertawa. Selain berpartisipasi dalam acara street food di berbagai lokasi di Jerman, ia juga menerima pesanan catering. Lewat situsnya di Internet, dia juga menjual sambal dan saus untuk sate yang ia buat sendiri. Semua dengan merek Mama Kocht für Dich.

Konsulat Indonesia di Hamburg juga kerap memesan masakan, misalnya untuk acara pameran di Köln Messe, di mana Jeannette yang membuat masakan untuk orang Indonesia yang datang dan bekerja di sana. Jika mendapat pesanan, maka ia memasak untuk 200 atau 300 orang. Semua perlengkapan dan kiosknya bisa ia angkut sendiri dengan mobil berukuran besar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here